Background

Cerpen Karyaku


Pengalaman yang Tak Terduga

Masa-masa kelas 6 SD, memang sulit untuk dilupakan. Detik-detik menegangkan menuju Ujian Nasional dan saat berkumpul bersama teman-teman yang sudah lama kukenal itu adalah saat-saat yang paling berkesan.
Hampir setiap hari kami belajar, dari pagi sampai siang. Tak ada yang spesial memang, tapi dihari itu ada yang berbeda bagiku, mungkin juga bagi yang lain. Dihari itu suasana kelas berubah ketika Bu Is, guru agama Islamku mengetuk pintu.
“Permisi, Pak. Mau pinjam Mutiara, Nabila, dan Hafizhnya sebentar” kata Bu Is pada Pak Kirman yang saat itu sedang mengajar. “Silahkan, Bu” sahut Pak Kirman.
“Assyifa, Nabila, dan Hafizh kesini sebentar.” Kami pun menghampiri Bu Is. “Kalian Ibu ikutkan Loketa cerdas cermat ya?”
“Iya, Bu.” Jawab kami dengan ekspresi masing-masing. Aku sendiri bingung. Aku merasa minder. Di bidang agama, Muti dan Hafizh lebih ahli daripada aku. Apa Bu Is nggak salah pilih. Nanti kalau kalah bagaimana” kataku dalam hati.
Setelah kupikir-pikir, apa salahnya jika aku ikut. Menang kalah itu biasa, yang penting aku sudah berusaha. Lumayan juga, bisa menambah pengetahuan dan pengalaman. Selain itu aku jenuh belajar terus, di sekolah dan di rumah, sungguh monoton, aku ingin mencari suasana yang berbeda.
Tidak hanya kami bertiga, teman-temanku yang lain juga banyak yang dipilih untuk ikut Loketa (Lomba Keterampilan Agama) dengan kategori lomba yang berbeda. Termasuk Osu, cowok yang aku suka. Dia ikut dalam lomba marawis.
Loketa terdiri dari bermacam-macam kategori, selain lomba cerdas cermat ada lomba menulis kaligrafi, lomba shalat berjamaah, lomba puisi, adzan, MHQ, MTQ, kultum, qasidah, dan marawis.
Mulai saat itu, setiap pulang sekolah, aku, Muti, dan Hafizh selalu berlatih dengan menjawab soal. Saat libur atau saat ada waktu lengang pun kami berlatih. Kami mempelajari soal-soal tanya jawab seputar fiqh, aqidah, dan lain-lain dari sebuah buku kecil bersampul jingga. Total halaman buku tersebut kami bagi tiga, lalu kami hapalkan sesuai bagian masing-masing. Kami berlatih sekitar satu minggu lebih.
Akhirnya, hari yang ditunggu-tunggu tiba. Aku berangkat sekolah seperti biasanya, diantar oleh Ayahku. Dalam lomba, kami diwajibkan untuk mengenakan pakaian Muslim. Pada awalnya, Aku dan temanku, Maya janjian untuk mengenakan kerudung segitiga. Ternyata, sesampainya di sekolah Maya mengenakan jilbab biasa.
“Ih, Maya begitu, katanya mau samaan kerudungnya?” kataku kesal.
“Hihihihi, kata ibuku ribet pake kaya gitu.” jawab Maya sambil senyum-senyum.
Kenapa kamu nggak kasih tahu aku dulu? Bikin kesal saja" kataku.
“Maaf, maaf, hahahaha”.
Aku malu sekali, tidak biasanya aku mengenakan kerudung segitiga. Aku benar-benar tampil beda dihari itu.
"Assalamualakum Bu Haji" ejek beberapa temanku. Osu pada awalnya bengong melihatku, tapi pada akhirnya Osu mengejekku juga. Aku hanya bisa mesem-mesem setiap diejek. “Ahhhhh, rasanya pingin ganti kerudung!” Mau bagaimana lagi, sudah terlanjur, aku tetap akan lomba dengan penampilan seperti ini.
Loketa diadakan di SDN 08 Baru. Sebelum berangkat kami melaksanakan apel dan doa bersama. Karena transportasi terbatas, jadi kami diantar bergantian. Aku, Muti, Hafizh, dan beberapa teman lainnya naik mobil Pak Kepala Sekolah, sedangkan yang lain naik mobil Carry. “Hahaha, nyamannya” pikirku.
Baru sampai di jalan Sawo laju mobil sudah terhenti. Jalan Sawo ditutup, ada galian. “Huh, terpaksa jalan kaki deh. Mana SDN 08 Baru dari sini masih jauh lagi” kata temanku.
Perjalanan disambung dengan jalan kaki. “Aduh, cape! Emang masih jauh ya?” keluhku. Ya, begitulah aku. Karena selalu diantar jemput mengunakan motor, aku jadi tidak terbiasa jalan jauh. Baru sedikit jalan capenya minta ampun.
Akhirnya kami sampai juga. Semua dikumpulkan dahulu untuk diberi arahan dan nasehat dari guru-guru pembimbing. Dilanjutkan dengan apel bersama seluruh perserta, kami berbaris sesuai kategori lomba masing-masing.
Setelah apel, Loketa dimulai. Aku dan teman-teman lainnya masuk ke ruangan sesuai dengan kategori lomba yang diikuti. Aku,  Muti, dan Hafizh diberitahu bahwa kami mendapat nomor peserta terakhir.
Melihat peserta lain yang bertanding lebih dulu, membuat hati semakin ciut. Wajah mereka tegang, nampaknya soal yang diajukan juri cukup sulit. Aku tidak yakin bisa lolos di babak penyisihan ini.
Aku dan Muti hanya duduk di sebuah kursi panjang dekat pintu. Menyaksikan perlombaan dari jauh, sambil melepas lelah sehabis letih berjalan. Para guru pembimbing sudah kembali ke sekolah untuk mengajar, hanya Pak Wasiyo yang menetap. Beliau sendiri sedang sibuk mengurusi teman-temanku yang lain. Sedangkan Hafizh sedang sibuk dengan teman-teman marawisnya. Ya, Hafizh mengikuti dua kategori lomba yang berbeda.
Sambil mengisi waktu, aku makan cemilan yang kubawa sambil mengobrol dengan Muti. Kemudian aku menyaksikan lomba marawis yang bertempat di depan ruangan lomba cerdas cermat. Tepatnya di sebuah panggung sederhana. Yang aku nanti-nantikan pasti penampilan dari sekolah sendiri. Walaupun ada alasan lain, yaitu karena ada Osu. Kali ini dia tampil sebagai vokalis. Puas hatiku mendengar suaranya.
Setelah tim marawis sekolahku tampil, aku kembali ke tempat duduk, menemui Muti. Muti nampak pucat.
“Muti kenapa? Sakit?”
“Iya, tiba-tiba aku nggak enak badan.”
Aku memberitahukan keadaan Muti pada Bu Eli yang baru datang lagi sehabis mengajar. Bu Eli menghampiri Muti lalu menanyakannya beberapa hal. Ternyata, Muti belum sarapan. Karena makan siang belum datang, Bu Eli hanya memberinya minum.
Tak terasa hari sudah siang. Sudah sangat lama kami menunggu giliran bertanding. Sementara teman-temanku dari kategori lain sudah selesai, semuanya datang ke ruanganku untuk berkumpul.
Para guruku yang tadi kembali ke sekolah sudah kembali lagi membawa makan siang. Sambil menunggu giliran, kami makan siang dahulu di depan ruangan lomba cerdas cermat. Baru beberapa suap aku makan, nomor peserta kami sudah dipanggil untuk bersiap-siap. “Padahal masih laper juga, cape banget, kelamaan nunggu, uhhh.”
Giliranku tiba. Aku harus tetap semangat demi SD tercinta. Selain itu, yang bikin aku semangat ya karena ada Osu. Entah kenapa semangatku selalu membara kalau ada dia.
"Semangat ya!" kata teman-temanku. Osu memberi senyum semangat kepadaku. Aku mengerti maksudnya, kubalas dengan senyum penuh keyakinan. Seperti biasa dia sangat perhatian kepadaku. Kata beberapa temanku, sebenarnya dia juga memendam perasaan yang sama. Entahlah, semoga saja benar.
Lomba dimulai. Aku, Muti, dan Hafizh duduk ditempat yang telah ditentukan panitia. Disana tersedia satu set meja dan kusi. Meja telah dilengkapi dengan mikropon, tombol, dan lampu.  Jika tombol ditekan, lampu akan menyala diikuti dengan bunyi yang terdengar lucu. Muti dipercaya sebagai juru bicara oleh Bu Is. Muti duduk ditengah, sementara aku di sebelah kanannya. Teman-teman dan guruku menyaksikan dari kursi penonton.
Loketa cerdas cermat dibagi menjadi dua babak, yaitu babak penyisihan dan babak final. Di babak penyisihan tingkat binaan ini, kami berhadapan dengan SDN 06 Baru  dan SDN 04 Baru.
Lomba berjalan lancar. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan juri cukup sulit. Kami sempat tertinggal 20 skor, tapi kami berhasil mengimbangi. Akhirnya skor kami lebih unggul, kami lolos dan maju ke babak final. Syukur, Alhamdulillah. Aku jadi yakin bahwa kami bisa lolos ditahap berikutnya.
Sebelum babak final, ada jeda istirahat sebentar. Kugunakan untuk minum, melepas ketegangan. "Tadi kamu nggak bantuin apa-apa, cuma Muti sama Hafizh saja yang jawab pertanyaannya." kata Osu menggodaku. "Ih, enak saja, aku juga bantuin." jawabku sewot. “Kalau dia bisa ngomong begitu berarti tadi dia memperhatikan aku terus ya?" pikirku. "Oh senangnya!"
Babak final pun dimulai. Kami duduk ditempat yang sama. Saingan kami cukup tangguh kali ini. Kami saling susul-menyusul skor. Pada akhirnya, kami lolos ke tingkat kecamatan sebagai juara 2 tingkat binaan. Alhamdulillah, senang rasanya hati ini.
Loketa sudah selesai. Para murid dipersilahkan pulang ke rumah masing-masing. Aku dijemput oleh kedua orang tuaku naik motor, sementara yang lain jalan kaki sampai depan jalan Sawo.
***
Hari-hari berikutnya kami jalani seperti biasa, sekolah dan latihan, tak ada yang khusus. Dari sekolahku, hanya lomba cerdas cermat dan puisi saja yang berhasil lolos ke tingkat kecamatan. Loketa tingkat kecamatan dilaksanakan di SDN 01 Baru, sekitar seminggu setelah pelaksanaan loketa tingkat binaan. Kami memanfaatkan hari dengan terus berlatih.
Suatu ketika, Pak Kepala sekolah memanggil kami bertiga.
"Kalau kalian berhasil lolos ke tingkat kotamadya, Bapak akan kasih sesuatu untuk kalian. Kalian mau apa? Perlengkapan sekolah untuk SMP? Mau tas? Boleh saja. Bapak janji".
"Iya Pak, terima kasih" jawab kami.
Sejak saat itu kami lebih giat berlatih. "Kan lumayan kalau dapat tas dan perlengkapan untuk SMP nanti." aku terus memikirkan janji Pak Bardi.
Hari perlombaan pun tiba. Aku, Muti, Hafizh, dan seorang temanku yang menang di kategori puisi diantar menggunakan mobil. Sama seperti sebelumnya kami apel dan masuk ke ruangan masing-masing.
Bertanding tanpa ada teman-teman yang menyemangati sangat tidak enak. Apalagi Osu juga tidak ada. Rasanya ada yang kurang. Tapi aku harus tetap memberikan yang terbaik untuk sekolahku.
Kami tak lama menuggu, nomor peserta kami segera dipanggil. Giliranku tiba. Aku berdoa semoga kami bisa lolos ke tingkat kotamadya.
Lomba berjalan sengit. Kami kepayahan menjawab soal dari juri. Skor kami sempat tertinggal, tapii bisa mengimbangi lagi. Terus saja begitu dari awal pertandingan. Aku sudah pesimis kami bisa menang. Memang lawan yang kami hadapi sulit dikalahkan. Hanya dua tiga kali skor kami lebih unggul dari mereka. Sampai akhirnya kami tak bisa lagi mengungguli. Kami kalah.
Aku sangat sedih. Aku akui lawan kami memang lebih unggul. Muti nanpaknya tak bisa terima, ia menangis. "Mungkin ini karena janji Pak Bardi" ceritanya. Setelah kurenungkan ternyata betul juga apa kata Muti. Semangat dan maksud kami telah berubah menjadi semangat mendapatkan hadiah dari Pak Bardi, bukan lagi karena ingin mengharumkan nama sekolah.
Disepanjang perjalan kembali ke sekolah, Muti masih tetap menangis. Ia terlihat sangat menyesal, sama sepertiku. Temanku yang mengikuti lomba puisi juga gugur. Kami kembali ke sekolah dengan tertunduk lesu. Para Guru mencoba menghibur kami.
Selang beberapa menit, Ayahku menjemputku di sekolah. Aku pulang dengan perasaan kecewa tapi juga bangga. Bertambah lagi satu pengalaman dalam hidupku. Momen-momen berharga yang akan kuingat selalu.

Categories: , , Share

Leave a Reply